Gunawan Budi Susanto
SELEPAS isya kami berlima marung di pekarangan musala. Marung adalah membakar ketela pohon sembari berbincang. Kayu bakar membara terjilat api serta bau ketela pohon membuat kami tak begitu merasakan udara malam yang semestinya menggigilkan badan. Obrolan ngalor-ngidul pun sambung-menyambung.
"Saya baca di koran, banyak orang berharap sebaiknya calon pemimpin, kepala pemerintahan, orang kaya. Jadi, kelak, setelah menjabat tak bakal korupsi," ujar Om Pardi seraya membolak-balik ketela agar tak gosong.
"Ya, kalau sebelum menjabat sudah kaya, kan kelak tak berhasrat mencari pulihan, tak ngotot mengembalikan modal saat pencalonan. Begitu nalarnya. Namun, siapa bisa menjamin nanti sang pejabat benar-benar tak bakal korupsi?" timpal Mbah Jos.
"Apakah kontrak politik yang mereka teken saat kampanye tak bisa menjadi jaminan?" tanya Mas Ndomo yang biasanya lebih banyak berdiam diri, tetapi diam-diam mencatat apa saja yang kami obrolkan.
"Lha, undang-undang saja acap dilanggar, apalagi cuma kontrak politik di atas selembar kertas yang bisa segera dilupakan," sahut Mbah Jos.
"Masa kontrak politik yang mereka teken di hadapan banyak orang pada berbagai kesempatan tak jadi pertimbangan sama sekali?" sergah Mas Ndomo penasaran.
"Kontrak politik itu mengikat mereka secara moral, Mas," ujar saya. "Dalam kontrak politik itu mereka berjanji berupaya sekuat daya menyejahterakan rakyat serta memberantas kolusi, korupsi, dan nepotisme. Namun, bukankah kita sudah amat kenyang makan janji? Ketika kita menagih janji para politikus, bukankah mereka acap menjawab dengan memberikan janji lain lagi?"
"Lalu, urusan moral tadi? Apakah bisa dibilang mereka tak bermoral bila kelak tak menepati kontrak politik?" desak Mas Ndomo.
KAMI terdiam. Om Pardi membagikan ketela yang sudah matang. Malam-malam makan ketela hangat mengepul, betapa sedap! Namun "kesedapan" itu terganggu pertanyaan soal moral. Ah, apa sih makna kata "moral"? Apa tolok ukur yang bisa kita pergunakan untuk menyatakan seseorang, entah gubernur, menteri, atau presiden sekalipun, tak bermoral?
Dulu, dulu sekali, ketika bekerja sebagai redaktur bahasa sebuah media massa, saya acap membuka-buka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sepemahaman saya, dalam ingatan yang kian kabur, lema moral dilekati berbagai makna. Pertama, (ajaran) tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; budi pekerti, susila. Kedua, kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan. Ketiga, ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Jadi, orang yang bermoral adalah orang yang mempunyai pertimbangan baik-buruk; berakhlak baik. Begitulah kata kamus.
Andai kelak ada pemimpin atau pejabat korupsi, dan tindakan itu sepenuhnya didasari pertimbangan baik-buruk, apakah dia tergolong manusia tak bermoral, orang yang tak berakhlak baik?
"Bagaimana? Apakah gubernur yang tak memenuhi kontrak politik, terutama soal korupsi-mengorupsi, bisa disebut tak bermoral?"
Pertanyaan Mas Ndomo menyeret saya keluar dari labirin angan-angan. Saya tergeragap. Gagap. "Ah, ya, ya, siapa pun yang menjadi gubernur dan kemudian korupsi atau setidaknya membiarkan korupsi terjadi, jelas tidak bermoral! Dan, dari orang tak bermoral, sangat sulit kita berharap muncul kebijakan yang berpihak pada rakyat, yang bertekad bulat, rawe-rawe rantas malang-malung putung, menyejahterakan rakyat," sahut saya. Namun, sungguh, dalam hati saya tak sepenuhnya meyakini kebenaran ucapan itu.
"Kalau benar kelak mereka korupsi, sebagaimana kini pun banyak pejabat pemerintahan ditangkap dan ditahan karena korupsi, apa sanksi moral yang paling tepat diberlakukan?" tanya Mas Ndomo.
"Digantung!" sergah Om Pardi bernada geram. "Seperti di China, para koruptor itu digantung."
"Ya, dihukum mati saja. Merekalah yang menghabis-habiskan kekayaan negara. Merekalah yang menyengsarakan rakyat. Hukuman mati tepat bagi koruptor!" timpal Mbah Jos.
"Hukum gantung atau hukuman mati bukan sanksi moral. Itu hukum pidana," ujar Pak Pir. "Sanksi atas tindak tak bermoral, ya bersifat moral. Bisa saja koruptor itu dipermalukan di hadapan umum. Misalnya ditayangkan di televisi seperti pernah ditempuh pemerintah. Namun, masalahnya, orang tak bermoral sejak awal memang tak punya malu. Jadi, percuma dipermalukan. Salah-salah, upaya mempermalukan itu justru digugat sebagai tindakan tak menyenangkan atau pencemaran nama baik."
"Sudah jelas tak bermoral kok dibilang punya nama baik. Piye to?"
gumam Mas Ndomo. "Lagi pula, para pejabat yang ditangkap dan ditahan karena tuduhan korupsi kan orang-orang kaya, orang-orang pintar, bukan seperti kita yang cuma bisa rerasan, omong, tanpa bisa bertindak nyata?"
"Tak bisa bertindak nyata macam apa?" desak Mbah Jos.
"Lha iya, siapa pun bisa korupsi, kan? Orang-orang bodoh, tak berpendidikan seperti kita, yang tak kenal sekolah tinggi seperti Pak Gun, sadar tak sadar juga korupsi. Atau, setidaknya menyuburkan korupsi. Contohnya, kita pilih memberikan uang ketika ditilang polisi lalu lintas ketimbang mengikuti sidang dan melengkapi diri dengan persyaratan pengendara kendaraan bermotor. Kita senang memberikan uang di kelurahan, misalnya, agar urusan administrasi kependudukan segera kelar.
"Ingat, bukankah M, kawan kita, acap menyunat uang bantuan dari berbagai lembaga yang diperuntukkan pembangunan musala atau kampung kita. Memang dia yang membuat proposal dan mencarikan bantuan itu, acap kali tanpa kita minta, dan bahkan tanpa kita ketahui. Ketika dia mengambil sebagian besar dana yang turun itu, kita tertawa-tawa saja. Bahkan berterima kasih karena memperoleh bantuan yang sebelumnya tak pernah kita perhitungkan. Bukankah tindakan M itu bisa disebut korupsi? Apa sanksi moral yang kita tujukan pada dia? Tak ada, cuma gerundelan di belakang punggung," ujar Mas Ndomo geram.
Wah, apa yang membuat Mas Ndomo yang pendiam menjadi sedemikian fasih bicara?
"M, bukankah dia memang yang paling pintar di antara kita? Dialah yang tahu bagaimana mesti berhubungan dengan orang-orang dari berbagai kalangan. Apakah kepintaran justru menjauhkan kita dari pertimbangan baik-buruk dan karena itu justru orang-orang pintarlah yang paling berpeluang korupsi?" lanjut Mas Ndomo tanpa peduli tampang saya yang keheranan melihat dia fasih berbicara, tak seperti biasanya, lebih banyak diam.
Lagi-lagi saya tergeragap. Jika undang-undang telah dilanggar, sanksi moral tak lagi mempan, apalagi yang bisa kita perbuat untuk menghentikan tindak koruptif?
"Saya curiga, jangan-jangan banyak peraturan dibuat justru untuk mempermudah orang-orang pintar, orang-orang kaya, itu makin gampang nyolong duit negara?" guman Mas Ndomo.
Cuma gumam memang. Namun serasa ledakan di kuping kesadaran saya, yang merasa paling pintar di antara mereka hanya karena berkesempatan mencecap pendidikan di perguruan tinggi. www.vhrmedia.com